RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Kesunyian Gang Satata Sariksa yang tampak biasa saja pada hari ini, Rabu (23/4/2025). Tersimpan cerita tentang perpecahan, konflik narasi, dan kegelisahan yang belum benar-benar reda. Gang kecil di Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung ini belum lama ini menjadi sorotan, setelah muncul pemberitaan yang menyebut adanya ketegangan tajam antarwarga.
Seorang pria warga setempat yang memilih tak disebutkan namanya menjelaskan suasana sudah jauh dari kata genting. Tidak ada kerumunan, tidak ada aparat, dan tidak tampak jejak amarah di jalan-jalan sempit yang membelah kawasan permukiman itu.
Ia mengungkapkan dari balik tembok dan pintu rumah-rumah warga, masih menyisakan cerita yang menyayat, tentang kesalahpahaman yang tumbuh liar, dan tentang warga-warga yang merasa telah dipelintir dalam pemberitaan.
Menurutnya, konflik bermula dari perbedaan pandangan antara dua kelompok warga, kelompok warga lama yang sudah tinggal di kawasan itu selama puluhan tahun, dan kelompok pendatang yang menetap dalam beberapa tahun terakhir. Isu bermula dari rencana pemanfaatan ulang lahan yang sebelumnya ditempati oleh sejumlah keluarga.
“Warga lama sebenarnya sudah ikhlas, sudah menerima keputusan apapun yang akan dilakukan pada lahan itu,” ujar seorang pria warga setempat yang memilih tak disebutkan namanya saat ditemui di Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Rabu (23/4/2025).
Ia berbicara dengan suara pelan namun penuh tekanan emosional.
“Tapi warga pendatang, mereka keras, menolak. Mereka bilang itu hak milik mereka, tidak boleh disentuh,” ungkapnya.
Menurutnya, konflik yang semula hanya bersifat perbedaan pendapat itu berubah menjadi ketegangan saat beberapa pihak mulai memanfaatkan media sosial untuk membentuk narasi sepihak. Dalam berbagai unggahan, muncul tudingan warga asli lah yang tidak menerima keputusan pemerintah. Bahkan, beredar kabar seolah-olah warga asli pihak yang memulai gesekan.
“Padahal kenyataannya, kami sudah menerima hampir 90 persen. Cuma karena mereka, pendatang yang lebih vokal, lebih banyak bicara di medsos, narasi kami tertutup, kami yang legowo justru dianggap menolak. Kami yang diam malah dibilang menekan,” jelasnya sambil menunduk.
Ia warga yang tidak mau disebutkan namanya pun mengungkapkan kisah ini menjadi refleksi dari bagaimana konflik sosial dapat digiring oleh persepsi yang dibentuk secara masif, bukan oleh fakta lapangan.
“Di era digital, suara yang lebih keras kerap dianggap mewakili kebenaran. Dan dalam kasus ini, warga lama merasa kehilangan ruang untuk menyampaikan kisah versi mereka,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menambahkan isu ini bahkan menyeret nama-nama pejabat tinggi. Gubernur dan Wali Kota dikabarkan sempat dimarahi oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap tidak mampu mengelola dinamika sosial tersebut. Isu pun melebar, dari konflik lahan menjadi perdebatan tentang kepemimpinan, kebijakan tata ruang, hingga kepentingan politik lokal.
Namun, menurutnya yang kerap terlupakan dalam hiruk-pikuk tersebut adalah nasib warga kecil yang tinggal di tengah pusaran. Mereka yang rumahnya menjadi medan tarik ulur kepentingan, mereka yang setiap harinya harus hidup dalam bayang-bayang konflik yang tak mereka mulai.
Ia pun mengungkapkan hari ini, Rabu (23/4/2025) tidak ada lagi keributan. Tidak ada lagi orasi. Tidak tampak satu pun spanduk penolakan atau aparat berjaga. Gang Satata Sariksa kembali sunyi. Namun, luka di hati sebagian warganya masih terasa dalam.
“Kita warga asli masih menunggu keadilan, bukan dalam bentuk keputusan hukum semata, melainkan keadilan narasi, kesempatan untuk bercerita tanpa dipotong, diputarbalikkan, atau diabaikan,” tegasnya.
Ia pun menyampaikan cerita disini adalah pengingat, dalam setiap konflik sosial, ada lebih dari sekadar pihak yang menang dan kalah. Ada manusia, ada perasaan, ada hak untuk didengar secara utuh.
“Dan tugas kita sebagai masyarakat, termasuk media dan warganet adalah tidak hanya mencari kebenaran, tapi juga mendengarkan semua sisi cerita,” pungkasnya.(dsn)