News

PGRI Dukung Penjurusan Siswa SMA, P2G Menolak, Dianggap Bisa Hidupkan Kastanisasi

RADARBANDUNG.ID, JAKARTA – Rencana mengembalikan sistem penjurusan di jenjang SMA oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti kembali menghidupkan perdebatan lama.

PGRI Dukung Penjurusan Siswa SMA, P2G Menolak, Dianggap Bisa Hidupkan Kastanisasi

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim. Foto : Dok. Pribadi. Sementara itu foto atas, Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi. Foto : Istimewa Jawapos.com

Banyak yang setuju, tapi ada pula yang mengkritik tajam jurusan di SMA.

Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi termasuk yang mendukung.

Dia menilai, penjurusan IPA, IPS, dan bahasa membuat siswa bisa memiliki ilmu pengetahuan yang baik. Dengan begitu, siswa memiliki peminatan khusus untuk mendalami ilmu tersebut.

Aktivis pendidikan dari Tamansiswa Ki Darmaningtyas mengamini. Dia menilai, penjurusan memiliki sisi positif yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penjurusan. Pertama, penjurusan tampak lebih tegas dalam proses pembelajaran antara IPA, IPS, dan bahasa. Dengan begitu, tidak terjadi tumpang tindih.

Hal itu sangat membantu dalam membekali siswa yang akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

”Mereka yang akan melanjutkan ke prodi teknik, misalnya, akan memperkuat mata pelajaran fisika dan matematika lewat penjurusan. Mereka yang akan melanjutkan ke farmasi dan kedokteran akan memperkuat mata pelajaran biologi dan kimia, dan seterusnya,” jelasnya.

Tanggapan berbeda disampaikan organisasi guru yang tergabung dalam Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim justru menilai rencana penjurusan itu terkesan terburu-buru.

Selain itu, tidak ada kajian evaluasi terhadap implementasi kurikulum merdeka (IKM) yang baru seumur jagung. ”Format jurusan kan baru saja dihapus dalam kurikulum merdeka, kita belum lihat dampak dan efektivitasnya. Termasuk evaluasi IKM secara komprehensif belum ada. Menghidupkan kembali jurusan IPA/IPS saat ini justru terkesan tanpa kajian matang,” paparnya.

Selain itu, dia khawatir skema penjurusan akan menghidupkan kembali kastanisasi rumpun mata pelajaran. Sejarah membuktikan, saat penjurusan berkembang di kurikulum-kurikulum sebelumnya, anak IPA dinilai lebih pintar dan merupakan anak pilihan.

”Ada labeling bahwa anak IPA itu paling pintar, sedangkan anak IPS atau bahasa dianggap siswa biasa saja. Persepsi itu yang terbangun selama puluhan tahun,” keluhnya.

Kabid Advokasi P2G itu menyebut, pengotak-kotakan IPA, IPS, dan bahasa sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia keilmuan, dunia kerja, dan perubahan masyarakat global saat ini.

Sebab, ilmu pengetahuan sudah bersifat multi dan interdisipliner.

”Penjurusan tiga kelompok itu rasanya agak jadul, akan memilah kecerdasan anak secara absolut. Padahal, tiap anak itu punya potensi multi-inteligensia, punya minat bakat yang bersifat lintas disiplin,” jelasnya. (mia/oni)

 

Lihat Versi Lengkap