RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Kepolisian Daerah Jawa Barat mengungkap fakta baru terkait adanya dua korban tambahan yang mengaku telah mengalami tindakan tidak senonoh oleh pelaku dengan modus yang sama.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan dalam keterangannya Jumat (11/4/2025), membenarkan pihaknya telah memeriksa dua korban tambahan. Keduanya mengaku menjadi korban dalam kejadian terpisah pada tanggal 10 dan 16 Maret 2025. Modus yang digunakan pelaku disebut identik dengan insiden yang telah lebih dulu terungkap ke publik.
“Benar, dua korban tambahan telah kami periksa. Kedua korban mengalami perlakuan yang sama dengan modus serupa. Pelaku mengajak korban ke ruangan tertentu dengan dalih akan dilakukan uji anestesi dan tes alergi terhadap obat bius,” ujar Surawan.
Menurutnya, pelaku memanfaatkan statusnya sebagai dokter residen untuk memanipulasi situasi medis menjadi kedok atas tindakan asusila yang dilakukannya. Proses awal pelayanan dilakukan bersama dengan dokter lain. Namun, saat eksekusi, pelaku selalu bertindak sendiri dengan memanggil pasien secara pribadi ke ruang yang tidak sedang digunakan secara resmi di rumah sakit.
“Pelaku membawa pasien sendiri ke ruangan itu. Tidak ada pendampingan tenaga medis lain saat tindakan berlangsung. Ini yang menjadi celah,” jelasnya.
Surawan menyebut rumah sakit saat ini tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal, terutama menyangkut aktivitas para dokter residen. Ia memastikan ke depan, akan ada koordinasi lebih erat antara pihak rumah sakit dan kepolisian dalam pengawasan tenaga medis.
Menurutnya, Polda Jawa Barat memastikan akan mengenakan pasal pemberatan terhadap pelaku, mengingat terdapat unsur perbuatan berulang. Dalam hal ini, penyidik mempertimbangkan penerapan Pasal 64 KUHP, yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan secara berulang-ulang.
“Korban tambahan sedang kami dalami untuk diresmikan sebagai korban hukum. Jika terpenuhi, pelaku akan dikenai pasal berlapis dengan pemberatan pidana,” tegas Surawan.
Isu mengenai pencabutan laporan atau upaya damai antara korban dan pelaku juga ditepis keras oleh pihak kepolisian. Menurutnya, tidak ada laporan yang dicabut, dan tidak ada upaya damai yang dilakukan. Ia menegaskan tindakan pelecehan seksual berulang bukanlah perkara yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
“Salah satu jenis kejahatan yang tidak dapat ditempuh dengan restorative justice adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang. Ini masuk kategori berat,” tegasnya.
Pemeriksaan tambahan masih terus berlangsung, termasuk analisis rekaman CCTV, pengumpulan kesaksian pihak lain, dan pengujian DNA yang saat ini tengah diproses oleh Pusdokkes. Hasilnya diperkirakan akan keluar dalam waktu tiga hingga empat hari mendatang.
Pelaku berinisial PAP diketahui merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Hingga saat ini, PAP belum menjalani pemeriksaan kejiwaan secara resmi. Rencananya, psikologi forensik terhadap pelaku akan dilakukan pekan depan.
Pihak kampus dan rumah sakit pun disebut telah menjalin koordinasi untuk menyikapi kasus ini. Baik sanksi akademik maupun hukum tengah dipersiapkan guna memastikan penanganan kasus berjalan adil dan transparan.
Kasus ini juga mendapat perhatian dari kalangan psikolog. Pengamat psikologi forensik, Billy Martasandy menyebut perilaku pelaku mengarah pada bentuk kejahatan seksual berbasis dominasi dan manipulasi sosial. Billy menyebut pelaku kemungkinan besar merasa memiliki posisi unggul dalam lingkungan sosialnya, yang kemudian disalahgunakan untuk melanggar batas etika dan hukum.
“Ini adalah perilaku jahat yang didorong oleh rasa dominasi. Pelaku memanfaatkan posisi sosial dan profesinya untuk memanipulasi korban agar tunduk pada kemauannya,” ujar Billy saat dikonfirmasi Jumat (11/4/2025).
Billy menambahkan tindakan pelecehan seksual kerap kali dilakukan oleh individu dengan gangguan kepribadian, seperti narsistik, antisosial, atau psikopatik. Ciri utamanya adalah kurangnya empati dan ketidakpedulian terhadap norma sosial.
Billy juga menyinggung peran faktor gender dan maskulinitas toksik yang menjadi pemicu utama dalam banyak kasus pelecehan.
“Pelaku merasa superior karena ia laki-laki dan melihat perempuan sebagai pihak yang lemah. Ini bukan hanya soal dorongan seksual, tapi juga ekspresi kekuasaan,” ungkap Billy.
Billy menekankan pentingnya kematangan psikologis dalam dunia medis. Namun, Billy mengingatkan pengaruh eksternal bisa sangat menentukan perilaku seseorang, termasuk dokter. Individu, katanya, bisa saja memiliki kematangan psikologis secara akademik, namun tetap rapuh secara emosional ketika dihadapkan pada situasi yang membuka peluang penyimpangan.
“Lingkungan yang permisif, kurangnya pengawasan, dan absennya penegakan nilai moral bisa membuat seseorang tergelincir, bahkan yang berasal dari latar belakang pendidikan tinggi sekalipun,” ujar Billy.
Dalam banyak kasus, lanjutnya, pelaku berasal dari lingkungan yang tidak mengedepankan nilai empati dan tanggung jawab emosional. Ketika kontrol sosial dari keluarga dan institusi melemah, perilaku menyimpang pun mudah terjadi.
Billy menyarankan agar dilakukan pemeriksaan psikologis dan psikiatris menyeluruh terhadap pelaku guna memastikan apakah yang bersangkutan memiliki kondisi patologis tertentu.
“Kalau dilihat dari pola dan pengulangan kasus, sangat mungkin ini merupakan bentuk gangguan kepribadian. Tapi penegakan diagnosis tetap harus dilakukan oleh profesional melalui evaluasi klinis,” pungkasnya.(dsn)