Urbanisasi Pasca Lebaran, Arus Balik Mengubah Wajah Kota



RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Setiap kali gema takbir berkumandang dan ribuan pemudik kembali ke kampung halaman, kota-kota besar seperti Bandung sejenak menjadi lengang. Jalanan yang biasanya padat mendadak lengang, udara terasa lebih bersih, dan ritme kota melambat seolah memberi ruang bagi warga lokal. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Setelah suasana Lebaran mereda, gelombang arus balik mulai mengalir kembali ke kota. Tak sekadar membawa cerita mudik yang usai ditebus, sebagian dari mereka datang dengan niat baru, menetap dan mengadu nasib.
Kepala Seksi Pindah Datang Penduduk Disdukcapil Kota Bandung, Sonny Gantira mengungkapkan inilah wajah lain dari urbanisasi pasca Lebaran. Fenomena tahunan yang bukan sekadar soal perpindahan manusia, melainkan juga dinamika sosial ekonomi yang secara langsung mempengaruhi struktur perkotaan. Di antara ribuan penumpang yang turun di Terminal Cicaheum atau Stasiun Kiaracondong, sebagian bukan hanya kembali bekerja. Mereka membawa keluarga, membawa harapan baru, bahkan membawa keputusan besar, memulai hidup di kota, meski tanpa kepindahan administrasi yang sah.
Menurutnya, Bandung sebagai salah satu kota tujuan utama urbanisasi di Indonesia, kembali menyambut arus penduduk baru. Mereka datang dari pelosok-pelosok Jawa Barat, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran, Ciamis, hingga Banjar dan Cirebon. Kota Bandung dengan daya tarik ekonominya, infrastruktur yang berkembang, serta gaya hidup urban yang menjanjikan, menjadi magnet yang sulit ditolak.
Sonny menambahkan di balik harapan itu ada tantangan besar, tidak semua pendatang tercatat sebagai warga resmi. Banyak yang masih berstatus pemilik KTP luar kota, namun tinggal dan bekerja di Bandung dalam waktu yang lama, bahkan bertahun-tahun.
“Hal ini menimbulkan permasalahan serius dalam hal perencanaan kota, pelayanan publik, dan distribusi bantuan sosial. Kota menyediakan fasilitas, tapi tidak semua penggunanya tercatat,” ungkap Sonny saat sedang melakukan kegiatan pendataan, Terminal Cicaheum, Jl. A Yani, Kota Bandung, Senin (7/4/2025).
Sonny menambahkan merespons kondisi ini, Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) rutin menggelar program pendataan penduduk non permanen, terutama pasca Lebaran saat lonjakan pendatang baru terjadi. Himbauan Simpatik ini dilakukan secara langsung di titik-titik mobilitas tinggi seperti terminal dan stasiun.
“Tujuannya sederhana namun krusial, memastikan setiap individu yang tinggal di Bandung, meski sementara, tercatat dalam sistem kependudukan kota,” jelas Sonny.
Sonny Gantira menjelaskan penduduk non permanen, mereka yang memiliki KTP dari luar Bandung namun tinggal cukup lama di Kota Bandung tanpa mengurus perpindahan resmi. Sesuai Permendagri Nomor 74 Tahun 2022, pendatang seharusnya terdaftar sebagai penduduk non permanen agar dapat mengakses layanan publik secara sah dan adil.
“Urbanisasi tidak bisa dihentikan, tapi bisa dikelola. Salah satunya lewat pencatatan penduduk. Dengan data yang akurat, kita bisa merancang kebijakan yang inklusif dan berkeadilan,” ujar Sonny.
Sonny mengungkapkan dalam dua hari kegiatan di awal April 2025, Disdukcapil Kota Bandung berhasil mendata puluhan pendatang dan langsung memberikan layanan Identitas Kependudukan Digital (IKD) kepada sebagian dari mereka.
“Kolaborasi lintas sektor pun dikerahkan, mulai dari Dinas Perhubungan, aparat kewilayahan, hingga kelurahan dan kecamatan, untuk memastikan kegiatan ini berjalan lancar dan warga diarahkan dengan baik,” ungkapnya.
Menurutnya, urbanisasi memang tak hanya menyangkut fisik kota, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih dalam. Di balik setiap koper dan kardus yang dibawa pendatang, tersimpan mimpi-mimpi baru, mencari pekerjaan, membangun keluarga, atau sekadar ingin hidup lebih layak.
“Kota Bandung ditantang untuk tidak sekadar menjadi tempat tinggal, tetapi rumah yang ramah dan siap menampung aspirasi warganya, baik yang datang sementara, maupun yang menetap selamanya,” pungkasnya.(dsn)