RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI oleh DPR RI dan pemerintah pusat telah menimbulkan beragam reaksi di tengah masyarakat. RUU yang mengubah sejumlah pasal terkait tugas dan kewenangan utama Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini dinilai terlalu cepat disahkan tanpa mempertimbangkan secara matang berbagai implikasi yang mungkin terjadi.
Akademisi Universitas Langlang Buana (Unla) Kota Bandung, Rafih Sri Wulandari menyoroti keputusan pemerintah dalam mengesahkan RUU ini terkesan tergesa-gesa. Padahal, menurutnya, RUU ini masih menjadi perdebatan publik dan memunculkan polemik di berbagai kalangan.
“Saya juga tidak memahami mengapa pemerintah terlalu cepat mengesahkan RUU ini, padahal masih ada banyak perdebatan dan penolakan di masyarakat,” ujar Rafih saat dihubungi, Jumat (21/3/2025).
Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama dalam RUU TNI ini adalah kemungkinan keterlibatan TNI-Polri dalam berbagai lembaga masyarakat sipil. Menurut Rafih, keputusan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam tatanan demokrasi Indonesia yang selama ini telah berkembang pesat.
“Dengan disahkannya RUU ini, TNI-Polri memiliki kewenangan untuk masuk ke dalam berbagai lembaga masyarakat sipil. Saya melihat ini sebagai langkah yang kurang tepat dan kurang bijaksana,” ungkapnya.
Rafih menegaskan tugas utama TNI-Polri seharusnya tetap fokus pada menjaga ketahanan negara, sementara urusan sipil sebaiknya ditangani oleh pihak yang lebih profesional dan berkompeten di bidangnya. Keterlibatan TNI-Polri dalam sektor sipil dapat memicu kekhawatiran peran militer akan semakin dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
“TNI dan Polri sebaiknya tetap menjalankan tugas utamanya dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Urusan masyarakat sipil harus tetap berada di tangan orang-orang yang memang profesional di bidangnya,” tambahnya.
Rafih menyoroti pengesahan RUU TNI ini bisa berdampak pada pergeseran demokrasi di Indonesia. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara demokratis, menurutnya, bisa mengalami kemunduran apabila pengaruh TNI-Polri dalam lembaga sipil semakin besar.
“Jika TNI-Polri mulai masuk ke ranah sipil, maka ada kekhawatiran Indonesia tidak lagi demokratis seperti sebelumnya. Ini adalah persoalan serius yang harus diperhatikan oleh semua pihak, termasuk pemerintah,” jelasnya.
Menurutnya, esensi demokrasi adalah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai sektor tanpa adanya tekanan dari pihak militer atau aparat keamanan. Dengan keterlibatan TNI-Polri dalam lembaga sipil, ada potensi kebebasan sipil akan terancam, sehingga nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun selama ini bisa mengalami kemunduran.
“Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan ini. Jangan sampai demokrasi kita semakin terkikis,” tambahnya.
Rafih juga mengungkapkan masyarakat khawatir terhadap potensi kesewenang-wenangan yang bisa muncul akibat pengesahan RUU TNI ini. Dengan adanya regulasi baru ini, TNI-Polri memiliki akses yang lebih luas dalam berbagai sektor, sehingga masyarakat takut akan munculnya tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi.
“Kekhawatiran utama masyarakat adalah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan secara terstruktur dan masif melalui perangkat yang dimiliki oleh pemerintah, TNI, dan Polri,” ujarnya.
Menurutnya, jika tidak ada pengawasan yang ketat, regulasi baru ini bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk memanfaatkan kekuatan militer dalam mengontrol berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat reformasi yang selama ini diperjuangkan, di mana militer harus tetap berada dalam perannya sebagai penjaga kedaulatan negara tanpa mencampuri urusan sipil.
“Jika tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, maka TNI-Polri bisa memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam lembaga masyarakat. Ini yang menjadi kekhawatiran utama banyak pihak,” tegasnya.
Meskipun RUU TNI telah disahkan, Rafih menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam implementasi aturan ini. Pemerintah harus memastikan regulasi ini tidak disalahgunakan dan tetap dalam koridor yang tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi serta hak-hak masyarakat sipil.
Rafih juga berharap agar pemerintah mendengar aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan revisi atau penyesuaian terhadap pasal-pasal yang dianggap berpotensi merugikan demokrasi.
“Jika pemerintah tetap berkeras pengesahan RUU ini adalah sesuatu yang mendesak, maka setidaknya harus ada mekanisme pengawasan yang kuat agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan,” tambahnya.
Rafih berharap melalui kritik dari akademisi dan berbagai pihak lainnya, diharapkan pemerintah dapat lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan terkait RUU TNI ini. Demokrasi Indonesia yang telah dibangun dengan susah payah harus tetap dijaga agar tidak mengalami kemunduran akibat regulasi yang membuka ruang bagi dominasi militer dalam kehidupan sipil.(dsn)
Live Update
- Pengesahan RUU TNI Akademisi Soroti Dampaknya terhadap Demokrasi 4 minggu yang lalu