Oleh : Fajar Setyaning Dwi Putra
Fasilitator Dosen Bela Negara Kementerian Pertahanan Republik Indonesia
Terorisme merupakan ancaman nyata dan musuh kemanusiaan yang masih menghantui di sekitar kita. Tragedi teror bom bunuh diri di Polsek Asatana Anyar Bandung menambah panjang deretan kasus terorisme di tanah air.
Motif ideologi lagi-lagi disinyalir menjadi alasan kuat terjadinya kasus terorisme terulang kembali. Pada hakekatnya pelaku teror berkeyakinan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mengatasnamakan agama kunci sukses dalam menutupi kedok kejahatan aksi teror.
Tindakan teror atas nama agama dan Tuhan merupakan gambaran kecacatan nalar pikir para pelaku teror yang tidak berperikemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan seperti terorisme memang patut diberantas hingga akarnya karena jika terus terjadi, dapat mengakibatkan ketakutan terhadap setiap warga negara.
Pemerintah sepatutnya mampu untuk melindungi warga negaranya dari ancaman terorisme. Aksi keji terorisme bermodus agama seringkali mengganggu stabilitas nasional di republik kita tercinta ini. Bagaimana tidak, betapa besarnya pengaruh doktrin ideologi terorisme dibalut modus keagamaan membuat seorang pelaku teror rela menukarkan nyawa nya untuk membunuh dan melukai orang lain dengan dalih mendapatkan jalur “fast track” kenikmatan surgawi di kehidupan yang abadi kelak.
Bagi seseorang yang telah terpatri gagasan terorisme dalam dirinya menganggap aksi bom bunuh diri mencerminkan pengorbanan agung dan mulia. Pelaku tindak kekerasan teror dengan mengatasnamakan agama agaknya perlu diperiksa secara detail latar belakang dan kondisi psikologisnya.
Hal ini menjadi penting karena motif emosional dibalut modus agama semakin menguatkan seorang pelaku teror hingga dapat membuat ia terjerumus dalam kecacatan bernalar dan tidak dapat dengan berpikir jernih. Ditambah lagi internet memudahkan seseorang untuk tenggelam dalam propaganda-propaganda yang membenarkan setiap tindakan aksi terorisme.
Eksistensi kelompok teroris tidak lepas dari regenerasi yang terus dilakukan dengan merekrut anggota-anggota baru yang disiapkan menjadi “pengantin”. Mereka merekrut anggota dengan berbagai cara. Mulai dari pertemuan-pertemuan tertutup hingga propaganda melalui internet.
Mengedepankan hawa nafsu dalam mendalami keyakinan beragama membuat seseorang menjadi intoleran kemudian naik ke level ekstrem radikal dan puncaknya adalah aksi teror pada pihak lain yang dianggap salah dan dirinyalah yang paling benar.
Kecacatan nalar seperti inilah yang perlu kita lawan agar kedepan tidak ada lagi kasus teror dengan pola serupa merusak ketentraman kehidupan kita sebagai bangsa yang besar dan majemuk.
Penguatan nilai-nilai Pancasila melalui program deradikalisasi menjadi keniscayaan yang pasti khususnya bagi para pelaku terdakwa kasus terorisme. Tidak hanya bagi para pelaku teror, namun penguatan nilai-nilai Pancasila perlu dilakukan secara massif baik secara struktur dan kultur dengan mengedapankan pendekatan yang inlklusif bagi seluruh elemen masyarakat.
Melalui saluran publik dan media sosial misalnya penguatan nilai-nilai Pancasila dapat dikemas secara menarik sehingga dapat membuka perspektif kebangsaan bagi khalayak luas tentang pentingnya mengejawantahkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri yang heterogen.
Pemerintah dan seluruh masyarakat perlu bahu membahu melawan setiap tindakan teror. Karena gagasan terorisme bisa merasuk ke siapa saja tanpa memandang status sosial ekonominya. Bahkan pemikiran terorisme ini dapat diwariskan ke generasi selanjutnya sehingga menjadi suatu urgensi untuk memutus mata rantai cacat nalar terorisme dengan menghidupkan sprit nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat. (*)