RADARBANDUNG- Syarat dan ketentuan jatuhnya talak atau cerai suami istri – Perceraian kadang tidak bisa dihindari saat pasangan suami istri dihadapkan pada prahara dalam rumah tangga.
Cerai merupakan jalan terakhir saat suami dan istri tak bisa lagi mempertahankan mahligai pernikahan. Talak atau perceraian adalah terlepasnya ikatan perkawinan antara suami istri, baik karena ucapan talak sang suami, ungkapan tak disadarinya, maupun karena gugatan sang istri melalui meja pengadilan.
Meski talak merupakan perkara yang diperbolehkan dalam syariat, tapi selama perkawinan masih bisa dipertahankan, seharusnya dihindari. Hanya saja, jika rumah tangga sudah tak mungkin dipertahankan, jalan damai antara suami istri sudah mengalami kebuntuan, kerugian keduanya atau salah satunya diperkirakan akan lebih besar, maka jalan terakhir adalah talak atau perceraian.
Baca Juga: Syarat dan Langkah-Langkah Mengajukan Gugatan Cerai ke PA Bandung
Namun, talak bukan berarti pemutus tali perkawinan sekaligus. Sebab, memiliki beberapa tingkatan yang memungkinkan seorang suami bisa rujuk kepada istri yang diceraikannya. Layaknya sebuah akad, talak juga memiliki sejumlah syarat dan ketentuan, sehingga menjadi sah atau jatuh kendati tak disadari orang yang menjatuhkannya.
Apa saja syarat jatuhnya talak? Berikut penjelasannya, terkait syarat dan ketentuan jatuhnya talak atau cerai suami istri menurut Islam, dilansir dari laman NU Online.
Syarat dan ketentuan talak
Para ulama fiqih melihat syarat dan ketentuan talak dari 3 aspek. Pertama, dari aspek yang menjatuhkan, yaitu suami. Kedua, dari aspek yang ditalak yakni istri dan ketiga yakni aspek ungkapan atau redaksi talak. Berikut penjelasannya:
1. Talak suami
Aspek pertama syarat dan ketentuan talak atau cerai suami istri yakni, yang menjatuhkan talak adalah suami yang sah, baligh, berakal sehat, dan menjatuhkan talak atas kemauannya sendiri. Artinya, tidak sah seorang laki-laki yang menalak perempuan yang belum dinikahinya, seperti mengatakan, “Jika aku menikahinya, maka ia tertalak.”
Demikian pula anak kecil dan orang yang hilang kesadaran akalnya, seperti karena tidur, sakit, tunagrahita, dan mabuk.
Menjatuhkan talak saat seseorang hilang kesadaran akalnya
Menurut Syekh al-Syairazi dalam al-Muhadzab, hilangnya kesadaran perlu dilihat penyebabnya.
فأما من لا يعقل فإنه لم يعقل بسبب يعذر فيه كالنائم والمجنون والمريض ومن شرب دواء للتداوي فزال عقله أو أكره على شرب الخمر حتى سكر لم يقع طلاقه لأنه نص في الخبر على النائم والمجنون وقسنا عليهما الباقين وإن لم يعقل بسبب لا يعذر فيه كمن شرب الخمر لغير عذر فسكر أو شرب دواء لغير حاجة فزال عقله فالمنصوص في السكران أنه يصح طلاقه
Artinya, “Adapun orang yang tidak sadar, jika tak sadarnya karena sebab yang dimaafkan, seperti orang yang sedang tidur, tunagrahita, sakit, dan minum obat guna mengobati penyakitnya, sampai hilang kesadaran akalnya, atau dipaksa minum khamr sampai mabuk, maka ia tidak jatuh talaknya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash hadits tentang orang tidur dan orang tunagrahita. Maka kita analogikan saja yang lain kepada keduanya.
Selanjutnya, jika seseorang hilang kesadaran akalnya karena sebab yang tidak dimaafkan, seperti orang yang minum khamr tanpa alasan sampai mabuk, atau minum obat tanpa ada kebutuhan, sehingga hilang kesadaran akalnya, maka menurut pendapat (nash) yang telah ditetapkan tentang orang mabuk, jatuhlah talaknya.”
Bagaimana jika dipaksa menjatuhkan talak
Begitupula orang yang dipaksa menjatuhkan talak perlu dilihat paksaannya. Apakah hak atau tidak. Jika paksaannya hak seperti paksaan hakim di pengadilan, maka talak yang dijatuhkannya adalah sah dan jatuh. Sama halnya dengan keputusan cerai yang telah diputuskan oleh hakim pengadilan.
Berikut kriteria paksaan tersebut sebagaimana yang dirinci oleh Syekh al-Syairaji:
1. Pihak yang memaksa lebih kuat dari yang dipaksa sehingga tak bisa ditolak
2. Berdasarkan dugaan kuat, jika paksaan itu ditolak, sesuatu yang ditakutkan akan terjadi
3. Paksaan akan diikuti dengan sesuatu yang lebih membahayakan, seperti pemukulan, pembunuhan dan seterusnya. Maka dalam kondisi demikian, ungkapan jelas seseorang yang menjatuhkan talak dianggap sebagai ungkapan sindiran.
Jika diniatkan dalam hatinya, talaknya jatuh. Jika tidak diniatkan, talaknya tidak jatuh, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Muhammad ibn Qasim dalam Fathul Qarib.
Talak orang yang sedang marah
Pertanyaannya, bagaimana dengan talak orang yang marah? Syekh Zainuddin al-Maibari, salah seorang ulama Syafi‘i, menyatakan dalam Fathul Mu‘in:
واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب
Artinya, “Para ulama sepakat akan jatuhnya talak orang yang sedang marah, meskipun ia mengaku hilang kesadaran akibat kemarahannya.”