RADARBANDUNG.id, BANDUNG- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Pekerjaan Umum telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pembatasan operasional angkutan barang selama arus mudik dan balik Lebaran 2025.
Kebijakan ini berlaku mulai 24 Maret hingga 8 April 2025 dengan tujuan menjaga kelancaran dan keselamatan lalu lintas.
SKB tersebut meliputi keputusan dari Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: KP-DRJD 1099 Tahun 2025, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: HK.201/4/4/DJPL/2025, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Kep/50/III/2025, serta Direktur Jenderal Bina Marga Nomor: 05/PKS/Db/2025. Dalam aturan ini, terdapat pembatasan terhadap kendaraan barang, kecuali untuk kategori tertentu yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun, kebijakan ini mendapat tanggapan serius dari Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB).
Ketua Umum APKB, Iwa Koswara, menegaskan bahwa pihaknya sangat berharap pemerintah mengecualikan angkutan ekspor-impor dari pembatasan tersebut.
“Poin utamanya kami dari APKB sangat berharap, kita sudah mengajukan surat permohonan juga ke pemerintah, kembali mengecualikan angkutan ekspor dan impor itu ke dalam kategori kargo yang dikecualikan,” ujar Iwa Koswara dalam dalam konferensi pers APKB terkait pengecualian pembatasan kendaraan angkutan ekspor dan impor di PT Kwalram Rancaekek, Kabupaten Bandung, Senin (17/3/2025).
Ia menjelaskan bahwa industri manufaktur yang tergabung dalam APKB sangat bergantung pada pasokan bahan baku impor untuk produksi barang ekspor. Pembatasan operasional ini dikhawatirkan mengganggu rantai pasok dan berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi pelaku usaha.
“Kami APKB yang merupakan boleh dibilang 100% kita bergerak di bidang manufaktur dan pelaku ekspor-impor. Sudah dapat dipastikan kami itu pelaku ekspor-impor, sebetulnya kami yang di rantai pasok terakhir (logistik) ini yang akan terimbas,” ujarnya.
“Larangan ini kan lucu, mungkin di seluruh dunia hanya Indonesia yang membatasi ekspornya dengan berbagai macam alasan. Padahal ekspor itu devisa buat negara, impor masih mendinglah, ‘impor gaboleh’ ya okey. Tapi ekspor pun kita gaboleh jalan, gimana?” ungkap Iwa.
Untuk itu, APKB meminta pemerintah lebih bijak dalam menerapkan aturan pembatasan angkutan barang, khususnya untuk ekspor-impor. Mereka berharap adanya pengecualian, seperti yang sebelumnya pernah diberlakukan.
Dampak Ekonomi dan Potensi Kerugian
Sementara itu, Bendahara Umum APKB, Yohanes Setiawan, menyoroti potensi kerugian yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah akibat kebijakan ini. “Jika ekspor tertunda, perusahaan bisa dikenai penalti dari pelanggan hingga ratusan ribu dolar per pengiriman. Selain itu, biaya penumpukan kontainer di pelabuhan bisa melonjak hingga 600%,” kata Yohanes.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini berisiko mengurangi kepuasan pelanggan internasional dan membuat daya saing Indonesia melemah dibanding negara lain seperti Vietnam dan Thailand.
“Karena telat ekspor, Costumer Satisfaction (kepuasan pelanggan) berkurang, kepuasannya mereka berkurang ke kita. Indonesia ini selalu dibanding-bandingkan dengan Vietnam, Thailand, kita jadinya kalah di sana (birokrasi) kalau bersaing,” pungkasnya. (dbs)