PKL Lengkong Kecil Menuntut Keadilan Hak yang Sama

Kebersamaan suasana malam serta keseruan di Lengkong Kecil tidak hanya dikenal sebagai surga kuliner di tengah Kota Bandung, tetapi juga memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, Minggu, (9/3) dini hari. (Foto. Diwan Sapta Nurmawan/Radar Bandung).

RADARBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Suara pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Lengkong Kecil, Kota Bandung kembali menggema. Para pedagang menuntut keadilan atas aturan zonasi dan jam operasional yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil. Pedagang di kawasan Lengkong Kecil hanya diperbolehkan berjualan setelah Magrib, sementara lokasi lain di tempat yang sama para PKL dapat memulai aktivitas mereka sejak sore. Ketidakadilan inilah yang menjadi keluhan utama mereka.

Budayawan Ki Daus yang hadir dalam pertemuan dengan pedagang dan perwakilan pemerintah, menyuarakan kegelisahan mereka. Menurut Ki Daus kebijakan aturan zonasi dan jam operasional mencerminkan ketidakseimbangan dalam perlakuan terhadap pedagang kecil, seolah-olah mereka tidak memiliki hak yang sama dengan PKL di wilayah lain.

“Kalau yang lain boleh buka sore, kenapa di sini tidak? Ini bukan hanya soal usaha, tapi juga soal keadilan. Kami tidak meminta lebih, hanya ingin diperlakukan sama. Kalau memang alasan pemerintah karena lalu lintas, maka aturan seharusnya diberlakukan merata, bukan hanya menekan kami di Lengkong Kecil,” tegas Ki Daus saat ditemui, Jl. Lengkong Kecil, Kota Bandung, Minggu (9/3/2025) dini hari.

Ki Daus menambahkan permasalahan ini semakin kompleks karena Lengkong Kecil bukan sekadar lokasi berjualan. Kawasan Lengkong Kecil telah berkembang menjadi pusat kuliner sekaligus memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan, para pedagang justru menghadapi berbagai pembatasan yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi mereka.

Ki Daus mengungkapkan Lengkong Kecil tidak hanya dikenal sebagai surga kuliner di tengah Kota Bandung, tetapi juga memiliki nilai historis dan budaya yang kuat. Keberadaan kampung toleransi, di mana masjid, gereja, dan vihara berdiri berdampingan secara harmonis, menjadikannya ikon keberagaman yang hidup di tengah kota besar.

Baca juga: Makanan Tradisional Kekayaan Kuliner Khas Daerah Jawa Barat

Ki Daus menekankan kawasan Lengkong Kecil memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata yang unik, mirip dengan Malioboro di Yogyakarta. Namun, hingga kini perhatian pemerintah masih minim, sehingga perkembangan kawasan ini lebih banyak bertumpu pada inisiatif warga sendiri.

“Di sini ada rumah heritage, rumah sejarah, tempat ibadah yang berdampingan dengan damai. Ini bukan sekadar tempat jualan, tapi juga bisa jadi daya tarik wisata. Kalau pemerintah serius membangun kawasan Lengkong Kecil, bukan hanya pedagang yang sejahtera, tapi juga ekonomi Kota Bandung secara keseluruhan ikut terdorong,” ujar Ki Daus.

Ki Daus menambahkan sayangnya hingga saat ini dukungan nyata dari pemerintah masih belum dirasakan. Para pedagang berharap adanya langkah konkret, bukan hanya sekadar acara seremonial atau janji tanpa realisasi. Jika kampung toleransi ini benar-benar dikelola dengan baik, maka selain menjadi pusat kuliner, Lengkong Kecil juga bisa menjadi contoh nyata bagaimana toleransi dan keberagaman bisa hidup berdampingan dengan ekonomi kreatif.

Euforia perkembangan kawasan Lengkong Kecil, para pedagang justru merasa semakin terdesak oleh aturan yang tidak berpihak. Perwakilan PKL, Agugun dengan lantang menyuarakan keresahannya. Baginya, kebijakan yang ada saat ini telah menciptakan ketidakadilan yang nyata bagi pedagang kecil.

“Kita mencari nafkah, bukan mencuri. Kita hanya ingin keadilan. Kenapa di tempat lain boleh buka sore, tapi di sini harus menunggu setelah Magrib? Mana keadilannya? Negara seharusnya melindungi rakyat kecil, bukan malah mempersulit kami dalam mencari rezeki,” ujar Agugun.

Menurut Agugun aturan yang membatasi jam operasional PKL di Lengkong Kecil bukan hanya berdampak pada pendapatan pedagang, tetapi juga mengurangi daya tarik kawasan Lengkong Kecil sebagai pusat kuliner. Banyak wisatawan yang datang sore hari harus kecewa karena tidak bisa menikmati jajanan khas di lokasi ini. Jika terus dibiarkan, kebijakan aturan zonasi dan jam operasional dapat berdampak negatif pada ekonomi mikro yang bergantung pada sektor kuliner dan wisata.

Baca juga: Lengkong Mansion Bisa Jadi Pilihan Hunian dengan Konsep Modern dan Strategis untuk Generasi Muda Bandung

Kebijakan zonasi dan aturan jam operasional yang diterapkan pemerintah Kota Bandung kini menjadi sorotan utama. Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), Deden Purwanjaya menilai regulasi yang ada harus ditinjau ulang agar lebih berpihak kepada masyarakat, bukan sekadar mengikuti aturan tanpa mempertimbangkan dampaknya.

“Kita paham aturan harus ditegakkan, tapi pertanyaannya, mana yang lebih penting? Aturan atau kesejahteraan rakyat? Jangan sampai regulasi yang ada justru menghambat kehidupan pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya di berjualan sini. Seharusnya ada solusi yang adil, bukan sekadar larangan yang tidak berpihak,” tegas Deden.

Lebih lanjut, Deden mempertanyakan mengapa pemerintah baru menerapkan aturan ketat setelah kawasan ini berkembang dan menjadi ramai.

“Dulu, ketika Lengkong Kecil masih sepi dan rawan kejahatan, pemerintah tidak hadir. Tapi begitu tempat ini berkembang, mereka justru datang dengan berbagai aturan yang membatasi. Ini yang membuat kami bertanya-tanya, ada kepentingan apa di balik semua ini?” ujarnya.

Deden menambahkan para pedagang berharap agar zonasi dan peraturan daerah yang membatasi mereka bisa ditinjau ulang, sehingga mereka dapat terus menjalankan usaha dengan layak. Jika kawasan ini dianggap penting bagi pariwisata Kota Bandung, maka seharusnya ada kebijakan yang lebih inklusif dan menguntungkan semua pihak, bukan hanya aturan yang membebani rakyat kecil.

Ki Daus menyampaikan para pedagang, budayawan, serta komunitas wisata berharap agar Lengkong Kecil dapat diakui secara resmi sebagai pusat wisata kuliner dan budaya Kota Bandung. Mereka juga menginginkan adanya perhatian lebih dari pemerintah, bukan hanya dalam bentuk peresmian simbolis, tetapi juga kebijakan konkret yang mendukung perkembangan ekonomi di kawasan Lengkong Kecil.

“Lengkong Kecil menjadi ikon Kota Bandung. Bukan hanya tempat makan, tapi juga tempat wisata budaya dan toleransi yang nyata. Pemerintah seharusnya mendukung, bukan membatasi,” ujar Ki Daus.

Selain itu, Deden mengungkapkan adanya evaluasi terhadap kebijakan jam operasional PKL Lengkong Kecil, agar tidak ada lagi ketimpangan dalam aturan yang diterapkan. Jika kawasan ini ingin berkembang lebih jauh, maka pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat dan pedagang, bukan hanya mengeluarkan aturan yang justru mematikan potensi ekonomi rakyat kecil.

Deden menyampaikan di tengah gempuran pusat perbelanjaan modern dan restoran waralaba besar, PKL adalah garda terdepan dalam menjaga keberagaman ekonomi dan budaya kota. Jika keberadaan mereka terus ditekan, bukan hanya ekonomi yang terdampak, tetapi juga identitas Kota Bandung sebagai kota kreatif dan ramah terhadap warganya.

“Kini, giliran pemerintah untuk membuktikan komitmennya, apakah mereka benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau hanya sekadar mengeluarkan aturan tanpa melihat dampaknya. PKL Lengkong Kecil hanya ingin satu hal, hak untuk berdagang dengan adil, tanpa diskriminasi,” pungkas Deden.(dsn)



Iklan RB Display B

Berita Terbaru

Iklan RB Display C




Berita Terkait Kota Bandung


Iklan RB Display D