RADARBANDUNG.ID, SOREANG – Alih fungsi lahan untuk wisata yang masif di Kabupaten Bandung dianggap Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) meningkatkan potensi bencana alam di Bandung Selatan.
Ketua FK3I Pusat, Dedi Kurniawan mengungkapkan, meskipun lahan wisata di sekitar Ciwidey masih dikelola oleh pemerintah dan BUMN seperti Kementerian Kehutanan, Perhutani, dan PTPN, pengelolaannya dinilai tidak memadai. FK3I bahkan menyebut pemerintah gagal menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
“Regulasi yang ada justru mempermudah pengusaha menguasai lahan dengan izin pengelolaan wisata selama 35-50 tahun. Ini menjadi bom waktu karena kawasan diperlakukan seperti pekarangan sendiri,” ujar Dedi, Minggu (5/1).
Baca juga : Bripka Anditya Gugur Saat Selamatkan Wisatawan di Pantai Pangandaran
Ia menambahkan, pengusaha sering mengabaikan flora, fauna, dan ekosistem yang memiliki nilai ekologi tinggi.
“Banyak lahan yang dibeton, tanaman hilang, dan bangunan dibangun tanpa mempertimbangkan aspek konservasi. Hal ini terjadi di kawasan seperti Taman Wisata Alam Cimanggu, Ranca Upas, dan beberapa wilayah lindung lainnya,” ujar dia.
Menurut FK3I, keindahan alam seperti mata air dan sumber air panas sering direkayasa secara berlebihan, yang justru merusak fungsi konservasinya.
“Contohnya, kerusakan pada kawasan lindung Perhutani akibat kerja sama dengan pengusaha besar untuk mengubah alam menjadi kota wisata,” tutur dia.
FK3I juga menyoroti ketidakadilan dalam program Perhutanan Sosial melalui skema Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan Kemitraan Kehutanan. Masyarakat lokal hanya mendapat bagian kecil dan tetap miskin, sementara pengusaha mendapat keuntungan besar.
Baca juga : BPBD Imbau Wisatawan Waspada Longsor Saat Libur Nataru
“Kawasan konservasi, lindung, dan perkebunan harus dimanfaatkan untuk keberlanjutan pangan, wisata alam, serta kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga keanekaragaman hayati,” tegas Dedi.
FK3I berencana membangun koalisi untuk menolak kebijakan pemerintah, melakukan kajian hukum, serta menghentikan aktivitas wisata yang merusak lingkungan. Langkah ini bertujuan untuk mempertahankan kekayaan alam yang tersisa dan memulihkan kerusakan yang telah terjadi.
“Kami akan terus memperjuangkan kebijakan yang adil dan mendukung keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang,” pungkasnya. (kus)