”Apa yang disampaikan oleh presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses,” terangnya. Pernyataan Jokowi disebutnya merupakan penjelasan dari jawaban sebelumnya.
Ari menggarisbawahi, penjelasan yang dimaksud Jokowi adalah aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. Pernyataan itu berdasar Pasal 281 UU Pemilu. Di sana disebutkan, saat kampanye, boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah maupun wakilnya.
Yang jelas, ada syaratnya. Yakni, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya. Terkecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. ”Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara,” ungkapnya.
Ari membandingkan, presiden sebelum Jokowi juga melakukan praktik yang sama. Misalnya, Presiden Ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. ”Mereka memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya,” ujarnya.
Sementara itu, para pegiat hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang bergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) merespons keras pernyataan Jokowi. Pakar hukum Bivitri Susanti menyentil inkonsistensi presiden. Sebelumnya, Jokowi menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya mengikutinya.
Bivitri menduga, perubahan sikap itu membuktikan betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilu. ”Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden,” ujarnya.
Padahal, harus disadari bahwa seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu bila aktif berkampanye. Sebab, pejabat terlebih presiden akan bisa memengaruhi keadilan pemilu. Baik dari aspek kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi hingga memengaruhi netralitas birokrasi.
”Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi terstruktur, sistematis, dan masif,” imbuhnya.
Bivitri menilai, perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Meski UU Pemilu memberi ruang, UU harus diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945, yaitu luber jurdil, dengan penekanan pada aspek keadilan.
Pernyataan Jokowi yang memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etis dan melanggar asas keadilan dinilainya sebagai tindakan inkonstitusional karena melanggar asas pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Karena itu, CALS meminta Jokowi mencabut pernyataan tersebut.
(far/lum/tyo/lyn/c17/fal/jpc)