RADARBANDUNG.id- Polemik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang secara terbuka mengatakan dirinya boleh berkampanye dan memihak dalam pemilihan presiden masih berlanjut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan, presiden harus cuti jika melakukan aktivitas kampanye. Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan, dari sisi norma, presiden memang diperbolehkan melakukan kampanye.
Yang disampaikan Presiden Jokowi sesuai dengan norma di UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. ”UU-nya memang menyatakan begitu,” ujar Hasyim di Merlynn Park Hotel, Jakarta, kemarin (25/1).
Baca Juga: Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Ini Aturannya di UU Pemilu
Hanya saja, UU mewajibkan pejabat negara yang kampanye, termasuk presiden untuk cuti. Untuk menteri, izin cuti bisa disampaikan kepada presiden. Sementara bagi Presiden, cuti disampaikan ke institusi istana.
”Surat izin yang diterbitkan presiden itu KPU selalu mendapatkan tembusan,” imbuhnya.
Baca Juga: Bawaslu Catat 67 Dugaan Pelanggaran Selama Masa Kampanye di Jabar
Lantas, bagaimana untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan? Hasyim mengatakan, secara kewenangan, pengawasan menjadi tugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Bawaslu bisa melakukan kajian terhadap kegiatan atau kebijakan yang disalahgunakan. ”Soal nanti bagaimana lapangan, faktanya menggunakan fasilitas negara atau tidak, itu kan ada lembaga yang mengawasi,” jelasnya, dikutip dari Jawapos.com.
Sementara itu, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis menilai pernyataan Presiden Jokowi sangat merisaukan.
”Karena pernyataan itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat netral yang melekat pada diri presiden yang juga bertindak sebagai kepala negara,” terangnya saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, kemarin.
Menurut UUD 1945, sebagai presiden dan kepala negara, Jokowi harus berada di atas semua kelompok, di atas semua golongan, serta di atas semua suku, agama, dan partai politik. Menurut dia, presiden tidak boleh melakukan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya.
Terkait UU Pemilu yang dijadikan alasan Jokowi untuk memihak dan berkampanye, menurut Todung, yang dimaksud dalam UU itu adalah ketika presiden maju sebagai incumbent atau running for the second term. Dalam konteks sekarang, Jokowi jelas tidak bisa lagi ikut dalam kontestasi politik dan tidak ada periode ketiga. Jokowi seharusnya menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik.
”Kalau dia (Jokowi) dalam konteks sekarang ini ikut kampanye, ikut memihak, potensi conflict of interest, potensi benturan kepentingan akan sangat telanjang dan kasatmata,” paparnya. Jika itu terjadi, pemilu akan berjalan tidak adil.
Terpisah, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Ahmad Muzani menilai berlebihan kekhawatiran sejumlah pihak soal presiden ikut berkampanye. Dia menegaskan, yang disampaikan Jokowi hanya norma dari UU Pemilu.
”Lha wong presiden belum berkampanye, hanya mengatakan boleh berkampanye,” ujarnya di Media Center TKN kemarin.
TKN menyerahkan sepenuhnya keputusan kampanye atau tidak kepada presiden. ”Jika beliau akan berkampanye, kami akan dengan sangat bergembira dan senang sekali,” ungkapnya.
Sementara itu, cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar beberapa kali mewanti-wanti agar aparat negara bertindak netral dalam pemilu. Begitu pula presiden. Menurutnya, presiden sudah seharusnya bersikap netral. ”Presiden kalau memihak harus cuti dari (jabatan) presiden,” kata Muhaimin di Pasuruan, Rabu (24/1) malam.
Di bagian lain, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan bahwa pernyataan Jokowi terkait presiden boleh memihak telah banyak disalahartikan.