WAKTU itu usia Betty masih kecil. Namun kecintaannya pada panganan khas Jawa Barat Colenak, sudah begitu melekat pada dirinya.
Apalagi pasca perayaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955, bisnis usaha milik kakeknya langsung laris manis karena berhasil salah satu panganan yang disajikan pada konferensi internasional tersebut.
Betty Nuraety, pemilik generasi ketiga Kedai Colenak Murdi menyatakan, colenak buatan kakeknya sudah berdiri sejak tahun 1930. Tape bakar Murdi ini menjadi bagian dari sejarah KAA 1955 dan masyhur diliput berbagai media massa.
Betty mengungkapkan sepenggal kisah sejarah tersebut berdasarkan obrolan ibu kandungnya atau anak Murdi yaitu Supiah.
“Colenak Murdi pada tahun 1930 yang dikelola oleh kakek saya sebagai pencetus pertama colenak. Kemudian dilanjutkan ke anaknya yakni Supiah lalu ke saya sendiri cucunya sebagai generasi ketiga,” kata Betty ditemui di tokonya di Jalan Kembang Sapatu, Kota Bandung.
Colenak adalah kuliner khas Bandung terbuat dari tape atau peyeum singkong. Colenak dibuat dari tape panggang, kemudian disiram cairan gula merah dan parutan kelapa. Rasanya manis dan ada sensasi asam tape yang terfermentasi.
Dalam buku ‘Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya’ yang ditulis Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti (2014), dikisahkan bahwa nama Colenak Murdi Putra diambil dari nama pedagangnya, Murdi Putra sendiri.
Saat itu, colenak dipesan dari tukang colenak yang paling terkenal di Bandung, yaitu Colenak Murdi Putra yang membuka warung colenak di Cicadas, sekitar lima kilometer dari Gedung Merdeka yang menjadi tempat penyelenggaraan KAA.
Betty mengisahkan, sang kakek dulu sempat berjualan beras, lalu berhenti, dan beralih membuka warung nasi, tapi akhirnya berhenti juga. Kakek ibunya lantas menyarankan jualan peyeum singkong alias tape yang dibakar lalu diberi saus gula merah (kinca) dan parutan kelapa.
Jajanan tersebut ternyata laku keras, digemari karyawan pabrik sampai pengusaha lokal yang disebut aom-aom.
Waktu itu, jajanan peyeum Bandung dengan bumbu gula dinamai colenak. Nama colenak justru diberikan oleh aom-aom yang menjadi pelanggan Murdi.
Ia melanjutkan, sang kakek saat itu mendatangkan tape singkong sebagai bahan utama colenak dari Cimenyan di utara Bandung. Peyeum Cimenyan memang sudah sohor dari zaman Belanda. Kepopuleran peyeum Cimenyan akhirnya membawa peyeum menjadi oleh-oleh khas Kota Bandung.
Katanya, Murdi sekali pesan tape singkong bisa 50 kilogram. Sedangkan gula merah dan kelapa didatangkan dari Pasar Cicadas.
Sampai suatu hari di tahun 1955, colenak Murdi mendapat pesanan dari Konferensi Asia Afrika. Saat itu ibunya bilang kalau, sang kakek dapat pesanan untuk rapat besar di Gedung Merdeka. Pesanan colenak diambil oleh dua orang berpakaian sipil.
“Waktu itu penyelenggara KAA datang ke tempat jualan kakek (Murdi). Kakek diundang penyelenggara ke Hotel Homann. Ya kakek kaget sekaligus bangga karena colenak buatannya jadi sajian untuk pimpinan negara saat KAA,” ujar Betty.
Di tengah modernisasi, Betty berusaha tetap menjaga warisan kuliner tradisional milik kakeknya. Banyaknya kuliner lain yang tawarkan citarasa dan produk menarik lainnya, colenak Murdi tetap jadi primadona konsumen yang menginginkan jajanan tradisional penuh sejarah.
Sampai sekarang, cara membuat dan pengolahan colenak masih dipertahankan sejak dulu. Betty sebagai penerus usaha tidak mau mengubah kecirikhasan dari colenak Murdi. Proses pembakaran tape singkongnya masih pakai arang dan pengolahan kinca atau gula merah memakai kayu bakar.
Supaya lebih variatif, dari generasi ke generasi hanya menambah satu varian rasa saja. Waktu zaman Supiah, colenak Murdi punya varian durian dan kini saat dikelola Betty, dia menambahkan varian aroma nangka.
“Dari zaman kakek itu cuma orisinal saja. Zaman ibu (Supiah) ditambah durian, dan sekarang saya tambah aroma nangka. Tapi yang best seller tetap varian orisinal,” ungkapnya.
Colenak Murdi yang dikelola Betty kini menempati ruko berukuran sedang di kawasan Kosambi. Betty menyebut, dari sembilan anak Supiah, hanya tiga orang saja yang meneruskan bisnis colenak kakeknya.
“Usaha ini harus ada penerusnya. Makanya anak-anak ibu kan ada 9, yang jualan colenak itu anak ke 5, 7, dan 9. Nah saya ini anak terakhir,” terangnya.
Sebagai anak terakhir, Betty merasa perlu menjaga amanat yang dititipkan ibunya. “Tiap generasi itu pasti ada yang meneruskan usaha ini. Ibu juga seperti itu, banyak yang jualan tapi yang bertahan ibu saya. Amanat saya pegang dari ibu dan kakek, harus ada penerus. Karena kan kita bisa hidup, menyekolahkan anak ya dengan jualan ini (colenak),” terangnya.
Untuk kemasan, colenak Murdi Putra mengemas colenaknya dengan kertas nasi yang dialasi kertas yang sudah didesain sedemikian rupa. Bagian depannya bertuliskan ‘Colenak Murdi Putra sejak 1930’. Dengan font warna berbeda-beda, warna oranye untuk varian nangka, biru untuk durian, dan hijau untuk orisinal.
Kalau dulu Murdi mengemas colenaknya dengan daun pisang segar sehingga menambah aroma colenak.
Namun karena sulitnya mendapatkan daun pisang serta menjaga kesegaran peyeum yang sudah terfermentasi, colenak Murdi kini menggantinya dengan kertas biasa.
Ada juga kemasan kaleng untuk pelanggan yang mau membawa colenak Murdi sebagai buah tangan.
“Karena kita juga memasarkan produk ke minimarket, sedangkan kalau di minimarket itu pakai daun hitungannya cuma bertahan 2 hari saja karena daun kan bisa layu, jadi diganti pakai kertas nasi saja. Untuk konsumen yang bawa colenak dalam perjalanan lebih dari 2 hari, disarankan pakai yang kaleng karena sudah ada penelitian masa kedaluwarsa bisa sampai 1 tahun,” ucapnya.
Pagebluk Menyulitkan Usaha Kulinernya
Bisnis kuliner yang Betty jaga rupanya tidak selalu mulus. Dua tahun lalu, pandemi Covid-19 menerjang seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Bandung sendiri, angka kasus positif sempat tinggi dan terus melonjak. Semua sektor usaha terdampak, termasuk sektor kuliner.
Apalagi pemerintah beberapa kali menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan, yang membuat pelaku usaha perlu putar otak bagaimana agar dagangannya bisa laku terjual. Begitu juga yang dialami Colenak Murdi Putra.
Meski usahanya tidak mengandalkan dine in atau makan di tempat, namun dia juga kesulitan saat pemerintah membatasi jam operasional tempat makan. Mau tidak mau, Betty mengandalkan pesanan ojek online GoFood supaya dagangannya bisa tetap terjual.
Kata Betty, tempat usahanya beberapa kali pindah tempat. Sebelum menempati ruko yang sekarang, Betty pernah berjualan di Jalan Kiara Condong di tahun 2010. Namun karena area parkir yang kecil dan di sana tidak ada tempat produksinya, sudah dua tahun dia memutuskan pindah dan berjualan di tempatnya sekarang.
Rukonya tempat berjualan bukan kawasan strategis yang mudah dijamah konsumen. Meski berada di Jalan Kosambi yang merupakan kawasan pusat perdagangan di Bandung, namun toko milik Betty agak jauh dari pusat pasar Kosambi.
Toko Colenak Murdi Putra produksi Neng Betty ada di Jalan Kembang Sapatu No.4, Kosambi, letaknya tepat di depan Hotel Anda. Posisi tokonya ada di sebelah kiri bila mengikuti Jalan Laswi.
Kehadiran GoFood nyatanya sangat membantu Betty dalam mengenalkan produknya kepada para pelanggan.
Sudah hampir dua tahun usaha Colenak Murdi Putra bergabung sebagai merchant GoFood. Banyak kemudahan-kemudahan yang dia rasakan selama bergabung, khususnya saat pandemi Covid-19.
“Semenjak tokonya pindah ke Kosambi sudah gabung merchant GoFood. Apalagi sekarang yang di Kosambi lokasinya agak mojok dan kurang memadai kalau pelanggan datang langsung ke toko. Dengan adanya GoFood saya rasa sangat terbantu karena jadi gampang, orang kalau mau beli tinggal cari di GoFood namanya Colenak Murdi Putra 3, mau GoSend juga mudah,” ungkapnya.
Ia menyebut, selama pandemi penjualan juga turut menurun drastis. Colenak Murdi Putra 3 selain berjualan di toko, juga menjualnya ke beberapa minimarket di Kota Bandung. Katanya sebelum pandemi, Betty bisa memasukan colenaknya ke 165 minimarket, kini dia hanya berani mengirim ke 45 toko saja.
“Tentunya pandemi dari awal sebetulnya memang jatuh banget. Dulu bisa masukin ke ratusan toko khususnya minimarket, cuma karena pandemi banyak jalan ditutup, sekolah juga jadi kita cari jalur yang ramai. Banyak ditunda pengiriman juga sehingga jualan juga jadi sedikit banget. Risiko untuk kirim barang banyak pasti balik lagi kan,” jelasnya.
Supaya bisa tetap membayar para pegawai, minimal, Betty benar-benar mengandalkan layanan GoFood. Ia bersyukur, sudah hampir tiga minggu ini dagangannya bisa mulai bergeliat lagi.
“Saat ini terbantunya sama GoFood karena ada bantuan juga dari sana. Lalu ada pesanan orang, kebetulan seminar banyak dipakai. Saya terbantu dengan itu, dan hotel-hotel udah buka lagi jadi wisatawan bisa beli oleh-oleh di sini,” imbuhnya.
Kemudahan teknologi di era sekarang didukung dengan platform layanan pesan antar turut diakui mitra GoFood lainnya.
Ayam Crisbar yang baru saja meramaikan industri kuliner di Bandung sudah sejak awal bergabung sebagai merchant GoFood.
Pemilik Ayam Crisbar Teddy Hamonangan mengatakan, setiap hari muncul kekhawatiran pada dirinya bila bisnisnya padam karena pandemi, apalagi ketika pemerintah menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis level di Kota Bandung.
Selama ini, ayam Crisbar yang dikenal sebagai restoran ayam yang mana konsumen bisa bebas ambil nasi dan es teh manis sepuasnya merasakan dampak signifikan dari hantaman pandemi ini. Dengan layanan GoFood, disebutkan Teddy, bisa memberikan harapan kalau dia bisa mempertahankan bisnis kulinernya ini.
“Karena setiap ada pengumuman PPKM, itu omzet kita langsung turun. Konsumen dine in dan take away langsung merosot, karena andalan kami kan nasi dan es teh sepuasnya. Lalu pengurangan kapasitas juga 50%. Kalau gak ada Gojek, sepertinya kosong aja penjualan,” tutur Teddy di Bandung.
Ayam Crisbar kini sudah memiliki 10 cabang yang tersebar di Bandung Raya. Teddy mengungkapkan, dalam sehari jumlah pesanan yang masuk sebanyak 500 struk untuk satu cabang. “Pesanan dari GoFoodnya sekitar 150 sampai 200 struk,” tambahnya.
Teddy optimis, usaha kuliner di kota dengan julukan surga kuliner ini bisa bertahan, meski setiap harinya selalu lahir makanan minuman baru yang meramaikan khasanah perkulineran. Keoptimisan itu asalkan didukung dengan kreativitas para pelaku bisnisnya.
“Percaya (bisa bertahan), asalkan merchant ini bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Tapi saya percaya, orang Bandung kreatif-kreatif. Pasti bakal ada yang baru setiap harinya,” ungkapnya.