TB Hendra menjadi taman bacaan tertua di Kota Bandung
BUKU-BUKU tua sudah tampak menguning. Corak yang dibuat rayap, menjadi penanda buku tersebut sudah menjadi penghuni lama rak.
Aroma kertas usang atau Bibliosmia mengisi ruangan sederhana dengan lampu yang hampir redup.
NUR FIDHIAH SHABRINA/RADAR BANDUNG
Dari luar, seorang penjaga tampak sedang bertugas memilah buku-buku yang baru saja dikembalikan peminjam.
Diketahui, namanya Iding Hidayat, penjaga Taman Bacaan (TB) Hendra yang paham betul seluk beluk perbukuan di sini. Kisaran tahun 1970 sampai awal 2000-an, TB Hendra menjadi rumah kedua bagi pecinta buku.
Maklum saja, saat itu perkembangan teknologi belum berkembang seperti sekarang. Anak mudanya masih menjadikan buku sebagai bahan referensi mencari ilmu dan bahkan hiburan.
Taman Bacaan Hendra mengisi salah satu bangunan di Jalan Sabang No. 28, Cihapit. Menjadi taman bacaan tertua di Kota Bandung, TB Hendra punya anggota yang datang dari berbagai daerah.
Jumlahnya sekitar 7 sampai 8 ribu dengan total buku lebih dari 70 ribu koleksi.
Adalah Juliana Huwae yang menginisiasi lahirnya Taman Bacaan Hendra. Berdiri sejak 1967, taman bacaan ini masih bertahan dengan jumlah anggota yang tersisa.
Tumpukan buku yang penuhi rak-rak usang itu, justru menjadi spot favorit pengunjung dalam mencari buku yang disukai.
Bangunan Taman Bacaan Hendra sangat sederhana. Desain interiornya tidak ada yang diubah dari dulu sampai sekarang.
Bedanya, dulu buku-buku ini mengisi bagian garasi rumah. Namun karena jumlah koleksi buku yang terus bertambah, siempunya memindahkan bukunya ke ruangan lain yang lebih luas.
“Dulu yang antre buat pinjam buku banyak sekali. Dalam ruangan penuh sesak, orang-orang berdempetan buat cari buku yang mau dipinjam, takut keduluan diambil orang,” kata Iding.
Pemandangan tersebut menjadi hal langka yang terjadi saat ini. Iding yang hampir 30 tahun bekerja di sini, paham betul bagaimana transformasi Taman Bacaan Hendra dari dulu sampai sekarang.
Masa-masa kejayaan taman baca ini ada pada tahun 70-an hingga awal 2000-an.
Pasca2013, jumlah anggota dan pengunjung terus menyusut tergerus perkembangan teknologi. Apalagi kehadiran elektronik book atau e-book membuat orang semakin dimudahkan untuk membaca buku yang diinginkan.
Iding mengisahkan kejayaan Taman Bacaan Hendra. Dibantu empat rekannya, dulu ia bisa melayani puluhan pengunjung setiap harinya untuk meminjam atau mengembalikan buku. Jam-jam pulang sekolah, menjadi waktu paling sibuk di Taman Bacaan Hendra.
“Kadang mau bayar aja orang sampai antre. Bapak saja dibantu 4 teman, duh kalau gak dibantu kewalahan saya. Parkir juga sampai susah, kadang saya yang anterin ke depan karena gak dapat parkir pengunjungnya,” kisahnya.
Taman Bacaan Hendra menyimpan lebih dari puluhan ribu koleksi buku. Semuanya orisinil dibeli langsung dari pengarang atau penerbitnya. Dulu, setiap kali menambah koleksi, satu judul buku tersedia 10 buku.
Sekarang, mereka hanya membeli kalau ada yang pesan. Jenis bukunya pun beragam. Tapi paling banyak buku fiksi, seperti komik dan novel.
Iding mengungkapkan, pada tahun 70-an kepopuleran komik silat sangat tinggi.

Baca Juga: Menggali Pesan Strategi Budaya Indonesia dalam Bedah Buku & Antologi Puisi Karya Lilik Ahmad Alim
Semua orang berburu mencari komik silat yang biasanya terbit satu minggu sekali. Ukuran bukunya pun kecil, mudah dibawa ke mana-mana dan punya jumlah halaman yang tipis.
“Buku-buku lama seperti silat lama Indonesia itu sangat ramai dan diminati. TB Hendra masih simpan lengkap koleksinya di sini. Bahkan pengarangnya pernah datang ke sini untuk cek, karena katanya mereka sudah gak simpan bukunya,” jelasnya.
Perkembangan buku terus terjadi seiring semakin banyaknya peminat. Iding mengungkapkan, setelah komik silat, kehadiran komik Jepang mulai mencuri pasar pecinta buku Indonesia.