Yang sampai ke Mahkamah Agung pun tetap dinyatakan bersalah. Dimasukkan penjara. Setelah bertahun-tahun di penjara baru ketahuan bukan Sengkon dan Karta pelakunya. Karni Ilyas juga wartawan yang anti-penghitaman foto pelaku kriminal. Bukan saja merusak fotografi tetapi juga tidak ada gunanya.
Memang hukum mengenal doktrin ‘praduga tak bersalah’ tetapi menerapkannya tidak harus dengan menghitamkan bagian mata di foto itu. Karni terus menegakkan prinsip itu. Dan menyuarakannya.
Belakangan kita tidak melihat lagi ada foto di surat kabar atau majalah yang sebagian wajahnya ditutup warna hitam. Tentu Karni juga anti-penulisan singkatan untuk seorang tersangka.
Menurut Karni, nama tersangka itu harus disebut selengkapnya. Yang penting jangan menghukum bahwa mereka pasti salah. Kalau ditulis singkatannya justru bisa menimbulkan fitnah.
Kasihan orang yang sekantor atau sekampung dengan singkatan nama yang sama. Saya tentu mendukung prinsip seperti itu. Bahkan saya mendoktrinkan prinsip perlunya wartawan punya keyakinan.
Mengapa hanya hakim yang bisa memutuskan berdasarkan keyakinan –di samping berdasar barang bukti dan keterangan saksi.
Wartawan juga harus terlatih untuk memiliki keyakinan mengenai sebuah kejadian. Keyakinan itu akan menjadi bagian dari idealisme jurnalistik. Misalnya seseorang yang tertangkap basah. Atau terang-benderang dalam melakukan kejahatan.
Untuk apa lagi nama masih harus disingkat. Dan fotonya masih harus dihitamkan. Di mata saya, Karni Ilyas adalah alumnus TEMPO yang paling eksis sekarang ini. Memang masih ada nama seperti Leila Chudhori, si penulis buku terkenal itu. Yang salah satu bukunya berjudul Pulang. Sebuah cerita tentang penderitaan menjadi orang yang dituduh PKI –Partai Komunis Indonesia.
Juga ada Saur Hutabarat. Yang kini menjadi pengendali media di grup politisi-konglomerat Surya Paloh. Masih ada Putu Wijaya, sastrawan dan tokoh teater. Juga Ratna Riantiarno, tokoh teater juga.
Atau Bambang Harimurti, yang pernah lolos seleksi menjadi astronaut. Yang menantu pujangga Sutan Takdir Alisjahbana itu. Namun Karni-lah yang saya anggap paling eksis. Ia eksis di media tulis.
Ia juga pernah membantu saya membenahi manajemen Jawa Pos selama beberapa bulan. Sebagai wartawan ia begitu sukses mengungkap kasus korupsi di Pertamina. Di zaman sepeninggal Ibnu Sutowo. Lalu ia eksis lagi di dunia televisi. Begitu banyak penghargaan diberikan padanya di bidang penyiaran TV.
Sejak ia masih di Liputan 6 SCTV, pun sampai belakangan, ketika ia berada di TV One. Hanya Bang One (baca: o-ne) yang kurang berhasil menjadi produk yang melegenda. Sedang acara ILC (Indonesia Lawyer Club) akan dikenang sepanjang masa. Bahwa acara itu kini diakhiri justru membuat Karni lebih seperti Marilyn Monroe atau Elvis Presley: meninggal di kala sedang top-topnya. Yang membedakan, Marilyn dan Elvis mati akibat bunuh diri, sedang ILC mati entah karena apa.
Tentu Karni Ilyas akan tetap bisa eksis. Fisik boleh dikurung, tetapi ide tak akan bisa dimatikan. Justru kini zamannya livestream.
Bisa saja ILC bermigrasi ke dunia streaming. Dan sukses untuk kali kesekian. Sekali lagi, hilangnya ILC dari tv makin memperkuat tesis bahwa TV tidak akan berumur panjang lagi.
Baca Juga: Jakob Oetama
Setidaknya sebagai lahan bisnis besar. TV sudah semakin ditinggalkan pemirsanya –pindah ke streaming.
Hanya saja untuk pindah ke media streaming Karni harus membawa serta lagi seluruh anggota PKI-nya. Itulah singkatan yang terkenal di kalangan yang dekat dengannya: Pasukan Karni Ilyas.
Ketika masuk TV dulu, Karni membawa seluruh PKI-nya dari majalah hukum Forum Keadilan. Demikian juga ketika dari satu TV ke TV lainnya. Karni memang bukan hanya wartawan, ia juga pemimpin besar PKI yang militan.
(Dahlan Iskan)