Kendati Dihambat, Antusiasme Pemilih Melonjak
MASA depan Amerika Serikat (AS) selama empat tahun ke depan bakal ditentukan dalam hitungan hari. Kedua calon presiden (capres) AS punya kesempatan untuk menang.
Kubu Joe Biden optimistis, tapi masih waspada karena Donald Trump masih punya strategi untuk membalikkan hasil.
—
HATI Ann Wolfe tak tergesa-gesa melihat antrean tempat pemungutan suara (TPS) prapemilu di depan Hotel Holiday Inn, Kota Austin, Texas. Ia tahu sedikit kesabarannya bisa mengubah nasib AS.
”Donald Trump harus mengucapkan selamat tinggal (kepada kursi presiden, Red),” ujarnya seperti yang dilansir The Guardian.
Wolfe sudah membulatkan tekad sebelum datang. Ia bakal menentang lingkarannya sendiri, kubu konservatif, dan memilih Joe Biden.
Dalam pikiran perempuan itu, setidaknya kandidat Partai Demokrat tersebut manusia normal.
Menurut Wolfe, Trump bukan manusia yang normal. Pada satu sisi, Trump menolak aborsi karena mengaku pro kehidupan.
Pada sisi lain, ia membiarkan lebih dari 200 ribu orang meninggal akibat Covid-19. ”Ini bisa jadi surat suara terpenting yang saya berikan selama hidup saya,” ungkapnya.
Wolfe tak sendirian. Tujuh juta warga Texas sudah menyerahkan balot mereka sebelum pelaksanaan pemilu 3 November nanti.
Entah melalui pos atau datang ke TPS prapemilu. Tahun ini Texas memecah rekor angka partisipasi pemilu tertinggi. Biasanya tanah para koboi itu punya angka partisipasi yang rendah.
Pada pemilihan presiden empat tahun lalu, hanya 8,9 juta penduduk atau 59 persen dari daftar pemilih yang rela meluangkan waktunya.
Demokrat menilai partisipasi itu adalah pertanda. Texas yang selama ini tak pernah memenangkan kubu liberal sejak 1976 bakal berganti haluan.
“Yang kita lihat sekarang adalah warga Texas melampaui semua halangan untuk memastikan pendapat mereka didengar,” ujar Abhi Rahman, direktur komunikasi Demokrat cabang Texas.
Rahman menjelaskan, anggapan bahwa Texas merupakan basis politik Republik salah. Menurutnya, Texas adalah negara bagian golput. Kebanyakan yang golput adalah para Demokrat.
Pakar ilmu politik Texas A&M University Brittany Perry mengungkapkan, ini kali pertama ia harus antre panjang untuk menggunakan hak suara. Ia bahkan harus menunggu berjam-jam untuk bisa memasukkan balotnya ke kotak suara.
”Perlu diingat, ini baru pemungutan suara prapemilu. Saya tak pernah melihat antusiasme seperti ini di Texas,” ucapnya.
Secara total, AS sudah menerima 75 juta suara hingga Rabu (28/10) alias satu minggu sebelum pemilu.
Menurut United States Elections Project, jumlah itu terdiri atas 50 juta pos surat suara yang sudah diterima panitia dan 25 juta suara dari TPS prapemilu.
Angka tersebut sudah mencapai 36 persen dari total pemilih yang telah teregistrasi.
Angka itu juga mencakup setidaknya 50 persen dari jumlah total pemilih pada Pemilu 2016, yakni 136,5 juta jiwa.
Wajar jika sebagian rakyat AS memilih menggunakan hak pilihnya lebih awal. Pasalnya, berita mengenai pembatasan suara terjadi pada berbagai tempat.
Kubu Republik berusaha memperketat penerimaan suara, baik dari batas waktu, kualifikasi pemilih, maupun standar surat suara.
”Kami melihat ada upaya untuk menekan pemilih (untuk tak memberikan suara, Red) wilayah seperti Texas,” ujar Gabrielle Velasco, koordinator lembaga Election Protection.
Dua kasus besar soal pemilu baru saja diputus Mahkamah Agung AS. Untuk kasus Pennsylvania, panel hakim agung mengizinkan tenggat pos surat suara tiba tiga hari setelah hari pemilu.
Namun, untuk kasus Wisconsin, permintaan untuk memperpanjang tenggat penerimaan pos surat suara ditolak.
Belum lagi masalah di United States Postal Service (USPS). Sudah berbulan-bulan pihak Demokrat memprotes Louis DeJoy, kroni Trump yang baru diangkat sebagai kepala USPS, karena melemahkan operasi perusahaan.
Pada momen pemilu, kinerja satu-satunya kurir surat suara malah lemot.
Panitia pemilu berbagai negara bagian sudah memberikan peringatan: jangan percayakan balot kepada USPS. Nyatanya, masih ada 41 juta balot pos surat suara yang belum dikembalikan.
Mereka meminta masyarakat yang sudah menerima formulir menyerahkan langsung ke panitia atau setidaknya mengumpulkannya di drop box.

Pemilu kali ini memang susah ditebak. Di atas kertas, capres Demokrat Joe Biden sedang berada di atas. CNN menggadang-gadang Biden sudah mengamankan 290 suara elektoral, sedangkan Trump baru mengantongi 163 suara.
Real Clear Politic, lembaga nonpartisan, juga menampilkan Biden unggul dengan 232 suara elektoral dan 125 untuk Trump. Seorang kandidat butuh 270 suara elektoral untuk memenangi pilpres.