Oleh KH SAID AQIL SIROJ, Ketua Umum PBNU
KITA tetap harus berpuasa. Berniat melaksanakan perintah Allah. Apalagi, puasa ini salah satu rukun Islam.
Namun, dengan keadaan seperti ini, saya mengimbau tidak usah tarawih di masjid dulu. Tidak tadarus bersama di masjid. Tidak silaturahmi dengan buka bersama dulu. Cukup di rumah saja.
Diam di rumah ini sangat sesuai dengan perintah agama Islam, yakni menjaga keselamatan diri kita dan orang lain.
Allah berfirman, La tulqu biaydikum ila tahlukah. Jangan jerumuskan dirimu pada kehancuran. Nabi juga bersabda, La darara illah dirara. Tidak boleh mencelakakan diri kita maupun orang lain.
Kita mengikuti aturan dan protokol medis untuk tidak bersilaturahmi dan tidak salat di masjid itu pun ibadah. Dihitung pahala. Bulan Ramadan tidak akan berkurang kesakralannya.
Ada kaidah Al-amru idza dzoqo ittasaq. Kondisi kalau sempit, hukum malah menjadi luas. Misalnya, kalau kita kebetulan di tengah hutan atau padang pasir, nggak ada apa-apa, kalau nggak makan mati. Terus, di situ ada bangkai.
Maka, makan bangkai jadi boleh. Al amru idza dzaqa ittasaq, hukum itu kalau dalam keadaan sempit malah jadi luas. Longgar.
Sama dengan kondisi sekarang. Karena ada darurat Covid-19, ibadah di rumah, tarawih di rumah, tadarus di rumah, sama pahalanya dengan ketika tarawih dan tadarus di masjid. Daripada kalau bertemu rame-rame di masjid, satu orang saja yang membawa virus, mudaratnya bisa ratusan orang. Betapa repotnya petugas kesehatan.
Memahami agama juga harus dengan ilmu, bukan dengan emosi. Misalnya, tidak boleh Jumatan, terus marah-marah, emosi, terus mencaci maki. Ada kejadian mau salat Jumat, imamnya tidak datang, terus mencaci maki, ’’Imam mana? Kalau nggak bisa jadi imam, mundur saja.’’ Nah, ini gimana, mau ibadah tapi hatinya keras. Mau ibadah kok mencaci maki.
Ibadah Ramadan juga tidak cuma sebatas tarawih, tadarus, dan silaturahmi. Bisa juga ibadah dengan membantu sesama, membagikan sembako, membantu tenaga medis. Laisa minna man lam yahtam bi amri muslim, bukan umatku kalau tidak peduli dengan nasib orang Islam.
Kalau kita orang Islam, harus peduli terhadap sesama. Kalau tetangga dan teman butuh pertolongan, ayo kita bantu. Jangan malas-malas untuk membantu dan menolong. Dalam bulan Ramadan, nilainya berlipat.
Selama ini kan kita berpikir, kalau tidak salat di masjid seperti bukan ibadah. Sebenarnya ini bagus. Cuma, lebih cenderung emosional. Karena imannya kuat mengeluarkan emosi seperti itu. Tapi, kalau sampai menantang sunnatullah, itu salah.
Sunnatullah yang dimaksud, ini ada korona. Kalau kumpul, bisa nular. Sunahnya begitu. Nidzom Allah seperti itu. Jangan melawan. Jangan dilawan meskipun beralasan ibadah.
Ada orang sampai bilang, ’’Saya dengar di sini ada korona. Kita datang berjamaah, nanti hilang.’’ Ya silakan. Tapi, itu namanya sombong. Dikira begitu membela agama. Justru itu merugikan agama. Bertentangan dengan logika dan merugikan agama.
Memang benar kita harus yakin segala sesuatu itu minallah wa ilallah. Kita harus yakin bahwa Allah akan menyelamatkan kita selama kita ibadah. Tapi, jangan diumbar ngomong. Itu berarti sombong. Misalnya bilang, saya berwudu terus minimal 5 kali sehari semalam, insya Allah korona nggak masuk hidung, mulut, dan telinga. Dalam hati saja, tidak usah diumbar.
Kemudian, ada pahala lain yang bisa kita dapatkan. Yakni, tahammulil qadha bis shobri. Menerima takdir Allah dengan sabar itu luar biasa pahalanya. Terima takdirnya dengan ikhlas. Jangan nggerundel. Jangan menggerutu.
Contoh kecil, para khatib Jumat, para guru ngaji, pada libur semua. Rezekinya berkurang. Para mubaligh biasanya ceramah, sekarang tidak. Nah, ini kesempatan pahala besar sekali. Kita terima qadha dengan sabar.
Sabar menjalankan, taat. Sehari semalam lapar, haus, dan salat. Sabar meninggalkan maksiat seperti jangan minum khamr. Sabar, jangan menggerutu.
Jangan Melawan Sunnatullah
Ibadah boleh saja. Tapi, jangan melawan sunnatullah. Sistem alam semesta. Sunnatullah itu gampangannya begini. Allah menetapkan, kalau ada ini, akan ada bahaya ini. Kemudian, cara mengatasinya begini. Sama seperti wabah Covid-19.
Allah menetapkan, ini ada wabah, berbahaya bagi nyawa. Kalau berkumpul orang banyak, bisa menular. Kemudian, ada cara mengatasinya begini. Diam di rumah, menghindari kerumunan.
Kulli da’in dawa’ún, setiap penyakit ada obatnya. Allah ciptakan penyakit, ya pasti ada obatnya. Obatnya apa? Ya harus kita cari, biar kita tumbuh cerdas.
Allah hanya menyediakan potensi yang ada. Silakan kamu yang menemukannya. Maka, terbangunlah yang namanya ilmu pengetahuan dan peradaban.
Seperti dahulu Sayyidina Umar Ibn Khattab mau dijemput Gubernur Syam Abu Ubaidah Al Jarrah. Di sana sedang ada wabah (thaun).
Akhirnya, Umar balik lagi. Beliau tidak melawan sistem sunnatullah. Walaupun beliau ditanya, kok lari dari takdir? Umar menjawab, “Saya menghindar dari takdir satu menuju takdir Allah yang lebih baik.” Pada akhirnya, Abu Ubaidah wafat juga karena thaun tadi.
Ramadan itu anugerah dari Allah. Ini bulan gembira. Di bulan ini kita dimanjakan. Pahala sunah dilipatgandakan seperti pahala fardu. Barangsiapa menjalankan sunah di bulan Ramadan, pahalanya sama dengan melaksanakan fardu di luar Ramadan.
Ramadan ini juga merupakan waktu di mana pintu langit dibuka. Futuhatus samawati wal ard. Istigfar doa-doa kita insya Allah didengar Allah. Ini bulan penuh kesempatan. Syahrul magfiroh, bulan pertobatan. Syahrur rohmah, bulan rahmat. Juga ’Itqun minannar. Artinya, Allah menjamin akan bebas dari api neraka. Jadi, kita sangat dimanjakan sekali. Allah mengobral semua kemurahan.
(*)